Beranda | Artikel
Beritikaf Pada Sepuluh Hari Terakhir, Kapan Mulai Masuk dan Keluar Masjid?
Sabtu, 5 Januari 2013

BERI’TIKAF PADA SEPULUH HARI TERAKHIR, KAPAN MULAI MASUK DAN KELUAR MASJID?

Pertanyaan
Saya ingin beri’tikaf pada sepuluh malam akhir di bulan Ramadan, dan saya ingin mengetahui kapan saya masuk dan kapan saya keluar dari masjid?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Terkait masuknya orang  yang akan beri’tikaf, mayoritas ulama (diantaranya empat imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa bagi orang yang ingin beri’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, maka dia masuk sebelum matahari terbenam di malam dua puluh satu. Mereka berdalil akan hal itu dengan beberapa dalil, diantaranya:

  1. Telah ada ketetapan bahwa Nabi sallallahu’alihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Muttafaq’alaihi. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf pada malam bukan pada siangnya. Karena sepuluh dibedakan pada malamnya. Allah ta’ala berfirman, ( وَلَيَالٍ عَشْرٍ )Dan demi malam sepuluh.” Al-Fajr/89: 2. Dan sepuluh malam akhir dimulai pada malam keduapuluh satu. Dengan demikian, maka dia masuk ke masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu.
  2. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya diantara maksud terbesar dari I’tikaf adalah menggapai malam lailtul qadar, dan malam duapuluh satu termasuk malam ganjil pada sepuluh malam akhir. Jadi ada kemungkinan termasuk lailatul qadar. Maka seyogyanya ketika itu seseorang dalam kondisi beri’tikaf di dalamnya. Hal ini dikatakan oleh As-Sindy di Hasyiyah An-Nasa’i. Silahkan lihat Al-Mughni, 4/489. Akan tetapi diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2041 dan Muslim, no. 173 dari Aisyah Radhiallahu’anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, shalat fajar kemudian memasuki tempat i’tikafnya.”

Sebagian ulama salaf berpendapat dari sisi zahir hadits ini. Bahwa dia masuk tempat i’tikafnya setelah shalat fajar. Pendapat ini dipakai oleh para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411 dan Syaikh Ibnu Baz, 15/442. Akan tetapi mayoritas ulama menjawab hal itu dengan salah satu dari dua jawaban:

  1. Pertama, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf sebelum terbenam matahari akan tetapi tidak masuk ke tempat khusus beri’tikaf kecuali setelah shalat fajar. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketika ingin beri’tikaf, shalat fajar kemudian masuk tempat I’tikafnya. Hal ini sebagai dalil bagi orang yang mengatakan, “Mulai I’tikaf dari awal siang. Dan ini adalah pendapat Auza’i, Tsauri, Laits dalam salah satu pendapatnya. Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat, ‘Masuk (ke tempat I’tikafnya) sebelum matahari terbenam. Dan setelah itu meyendiri. Mereka mentakwilkan hadits, bahwa beliau masuk ke tempat I’tikaf, dan diputuskan di dalamnya ketika ingin beri’tikaf sebulan atau beri’tikaf sepuluh (hari). Sementara shalat subuhnya, hal itu bukan memulai waktu I’tikaf, bahkan (dimulainya) sebelum magrib sudah dalam kondisi beri’tikaf di dalam masjid. Ketika selesai shalat subuh, dia menyendiri.”
  2. Jawaban kedua, Al-Qodhi Abu Ya’la dari Hambali menjawabnya dengan menafsirkan hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu pada hari keduapuluh. As-Sindi mengatakan, “Jawaban ini yang bermanfaat dari sisi pandangan dan lebih utama untuk dijadikan patokan.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dalam ‘Fatawa As-Siyam hal, 501: ‘Kapan mulai I’tikaf?” Beliau menjawab, “Mayoritas ahli ilmu berpendapat bahwa mulai i’tikaf sejak malam keduapuluh satu, bukan dari fajar keduapuluh satu. Meskipun sebagian ulama berpendapat, bahwa mulai i’tikaf dari fajar keduapuluh satu. Berdasarkan dalil hadits Aisyah Radhiallahu’anha di Bukhari, “Ketika (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) shalat subuh, beliau masuk ke tempat i’tikafnya”. Akan tetapi Jumhur menjawabnya bahwa hal itu adalah saat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri dari orang-orang adalah sejak pagi. Sementara niat i’tikafnya dari awal malam. Karena sepuluh malam akhir itu dimulai sejak terbenamnya matahari di hari keduapuluh.”

Beliau juga mengatakan di hal, 503: “Orang yang beri’tikaf masuk di sepuluh malam akhir ketika terbenam matahari dari malam keduapuluh satu. Hal itu karena telah memasuki waktu sepuluh akhir. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah radhiallahu ’anha karena teksnya berbeda. Maka diambil yang lebih dekat dari sisi petunjuk (madlul) bahasa. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, 2041.

“Dari Aisyah Radhiallahu anha, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada setiap Ramadan. Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri’tikaf.

Perkataan ‘Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri’tikaf.” Hal ini mengandung pemahaan bahwa beliau lebih dahulu berdiam, sebelum masuk ke dalamnya. Maksudnya berdiam di masjid lebih dahulu daripada masuk ke tempat I’tikafnya. Karena perkataan ‘I’takafa’ adalah fiil madhi (kata kerja masa lampau). Maka asalnya (sebuah kata) digunakan sesuai hakekatnya.”

Kedua : Adapun masalah selesainya, maka i’tikaf selesai ketika matahari terbenam di akhir hari bulan Ramadan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, ‘Kapan orang beri’tikaf keluar dari I’tikafnya? Apakah keluar setelah terbenam matahari di malam hari raya atau setelah fajar hari raya?

Maka beliau menjawabnya, “Orang beri’tikaf keluar dari i’tikafnya ketika Ramadan selesai. Dan selesainya bulan Ramadan sejak matahari terbenam di malam hari raya.” [Fatawa As-Siyam, hal. 502]

Terdapat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411: “Waktu I’tikaf sepuluh Ramadan selesai dengan terbenamnya matahari di akhir hari Ramadan.”

Kalau dia memilih tetap di tepatnya sampai shalat fajar dan keluar dari tempat i’tikafnya menuju shalat Ied juga tidak mengapa. Sebagian ulama salaf menganjurkan hal itu. Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Bahwa beliau melihat sebagian ahli ilmu, ketika mereka beri’tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Mereka tidak pulang ke keluarganya. Malik mengatakan, “Hal itu disampaikan kepadaku dari orang baik yang telah melakukannya. Hal ini lebih aku sukai dari apa yang aku dengar. Agar mereka dapat menyaksikan hari raya Idul Fitri bersama masyarakat.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al-Majmu’, 6/323: “Syafi’i dan pengikutnya mengatakan, “Bagi orang yang ingin mencontoh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam beri’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, hendaknya dia masuk masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu, agar tidak terlewatkan sedikitpun. Dan keluar setelah matahari terbenam di malam hari raya. Baik bulan sempurna atau kurang. Yang lebih utama adalah berdiam diri malam hari raya di dalam masjid sampai melaksanakan shalat Id, atau keluar ke musholla tempat  shalat Id, jika mereka shalat di lapangan shalat id. Kalau dia keluar dari i’tikaf langsung ke shalat Id, maka dianjurkan mandi dan berhias sebelum keluar. Karena hal ini termasuk sunah dalam hari raya.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3474-beritikaf-pada-sepuluh-hari-terakhir-kapan-mulai-masuk-dan-keluar-masjid.html